15.6.17

Pemungutan, Penyetoran Dan Hambatan Penerimaan Negara Pada Satuan Kerja Kepulauan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Anggaran Pendapatan dan belanja Negara adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat [1]. APBN merupakan instrument bagi pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka mebiayai pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pembangunan. Salah satu unsur APBN adalah pendapatan dimana diperoleh dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak.
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dilaksanakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. [2].  Dikarenakan kontribusi pajak yang sangat besar pada APBN jangan sampai potensi-potensi yang seharusnya bisa diambil jadi hilang. Pada tahun ini Penerimaan pajak realisasinya baru 42,3% dari target APBN-P 2013[3].

Menyadari pentingnya perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak, maka kemudian dilakukan pengaturan secara terperinci melalui Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan bahkan Surat Edaran masing-masing kepala kementerian negara atau lembaga. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengatur regulasi pemungutan, pembukuan dan penyetoran ke kas negara secara benar, sehingga mengurangi kebocoran yang disengaja maupun tidak oleh bendahara penerimaan maupun pengeluaran.
Pada tiap satuan kerja pemerintah di wajib kan untuk mengambil setiap potensi pendapatan negara yang berada pada tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) nya. Dimana tugas pemungutan pendapatan negara tersebut di delegasikan oleh bendahara umum negara (Menteri Keuangan) kepada pimpinan setiap lembaga/kementerian sebagai pengguna anggaran, kemudian tugas di delegasikan kembali kepada setiap pimpinan satuan kerja sebagai Kuasa Pengguna Anggaran yang akan menunjuk bendahara pengeluaran dan bendahara penerimaan, pada kedua jabatan tersebut ditugaskan sebagai pengadministrasian urusan pajak.
Pengaturan secara internal tentang pemungutan, penyetoran dan pengadministrasian juga dilakukan pemerintah, misalnya pada lingkungan Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP. Dengan diterbitkannya  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya. Disitu jelas disebutkan dengan rinci tarif dan jenis yang boleh di pungut oleh satuan Pengadilan dibawah Mahkamah Agung, kapan harus disetor serta kemana disetorkan.
Pendapatan negara disetorkan ke Kas negara melalui bank sentral atau bank umum dan badan lainnya [4]. Badan lainnya selama ini yang umum diketahui adalah kantor POS. Secara jelas tertulis untuk waktu penyetorannya dalam semua Undang-undang atau peraturan yang mengatur penerimaan negara adalah harus secepatnya bahkan setiap akhir hari kerja rekening penampung sudah harus kosong atau sudah disetorkan. Seperti banyak diketahui kantor POS ada disetiap kecamatan seluruh Indonesia, bahkan ada lebih dari satu untuk kecamatan yang potensi nasabahnya banyak. Pemerintah memberikan kewenangan pada kantor POS dan bank umum yang ditunjuk untuk menampung semua setoran pendapatan merupakan keuntungan bagian badan-badan tersebut dikarenakan ada dana masuk.

1.2  Permasalahan
Dari peraturan dan undang-undang yang dibuat untuk mengatur tata cara penyetoran dan penerimaan negara, terdapat permasalahan yang ditemukan dilapangan oleh para satuan kerja pemungut penerimaan negara. Diantaranya :
1.      Tidak semua bendahara mengerti tentang jenis pajak, dimana ada potensi pajak, bagaimana memungutnya, menyetorkan dan melakukan laporan karena sangat jarang kantor pelayanan pajak melakukan pendidikan yang fokus tentang hal itu kebanyakan hanya melakukan sosialisasi atas suatu peraturan baru.
2.      Prinsip pemungutan pajak dan banyak hambatan dalam penyetoran pajak di satuan kerja wilayah kepulauan baik dari segi geografis maupun infrastruktur lembaga keuangan yang ada.

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan pembahasan tentang topic penerimaan setoran pendapatan negara adalah :
1.         Untuk mengetahui Pajak-pajak apa sajakah yang dipungut oleh Bendahara Peradilan Agama Tingkat Pertama.
2.         Agar mengetahui Prinsip-Prinsip dalam memungut pajak,  Apa saja hambatannya dalam melakukan penyetoran penerimaan negara untuk wilayah yang relatif sulit sarana dan prasarana lembaga keuangannya.
3.         Agar pemerintah menyiapkan infrastruktur lembaga keuangan atau lainnya yang diberikan kewenangan menerima setoran pendapatan negara, sehingga bisa cepat masuk ke kas negara.



BAB II
PEMBAHASAN

1.1     Kajian Pustaka
2.1.1.      Pengertian Penerimaan Pajak,Bukan Pajak Dan Bendahara
Penerimaan Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak, yang dipaksakan oleh kekuasaan public dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah (Leroy Beaulieu). Sedangkan Penerimaan Bukan Pajak adalah penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan [5].
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian negara / lembaga / pemerintah daerah , sedangkan Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggung-jawabkan uang pendapatan negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian negara / lembaga / pemerintah daerah [6].
Sedangkan menurut Undang-Undang No.1 tahun 2004 juga bahwa bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan,menatausahakan, dan mempertanggung jawabkan uang pendapatan negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.

2.1.2.      Penyetoran Pajak, Waktu Penyetoran Dan Sanksi
Pendapatan Negara disetorkan ke Kas negara melalui Bank Sentral atau Bank Umum dan badan lainnya[7]. Bank/Pos persepsi adalah bank dan/atau kantor Pos dan giro yang ditunjuk oleh menteri keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara[8]. Untuk sistem penyetoran penerimaan negara diatur kembali pada UU nomor 1 tahun 2004 pada pasal (22) ayat :
(6) Saldo rekening penerimaan setiap akhir hari kerja wajib disetorkan seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral.
(7) Dalam hal kewajiban penyetoran tersebut secara teknis belum dapat dilakukan setiap hari, Bendahara Umum Negara mengatur penyetoran secara berkala.
Penyetoran pendapan negara yang dilakukan melampaui waktu yang ditetapkan dikenakan sanksi administratif berupa denda[9].

2.1.3.      Kepulauan Kangean
Kepulauan Kangean adalah gugusan pulau yang terdiri dari + 60 pulau[10]. yang terbagi menjadi  3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Arjasa untuk bagian barat dan Kecamatan Kangayan untuk bagian timur serta Kecamatan Sapeken yang wilayahnya terdiri dari banyak pulau. Untuk sistim pemerintahan kepulauan ini merupakan bagian dari Pemerintah Kabupaten Sumenep. Bagian barat pulau Kangean terdapat pelabuhan sebagai pintu utama kapal-kapal regular masuk ke Kepulauan Kangean. Transportasi laut menjadi yang utama menghubungkan pulau – pulau dan menghubungkan dengan dunia luar. Dari pelabuhan utama Pulau Kangean dengan Pelabuhan Kalianget Sumenep Madura berjarak + 100 km bahkan jarak Pulau Kangean ke Sumenep lebih jauh daripada jarak Pulau Kangean ke Kota Singaraja Bali. Jika menggunakan transportasi kapal regular satu kali perjalanan bisa menempuh 9 sampai dengan 12 jam perjalan tergantung dari angin dan gelombang.
Banyak aktifitas ekonomi dilakukan warganya dari mulai berdagang, perkebunan, pertanian dan usaha jasa lainnya. Meskipun daerah kecil tapi arus uang yang masuk sangat besar, ini dapat dilihat dari jumlah transaksi dengan lembaga keuangan yang ada. Untuk lembaga keuangan di pulau ini hanya ada 2 Bank yaitu Bank BPD Jawa Timur dan Bank Rakyat Indoensia (BRI), itupun BRI baru masuk pada tahun 2012. Serta pada masing-masing kecamatan ada satu kantor POS yang melayani jasa pengiriman surat dan pembayaran rekening dan lain-lain. Pada wilayah ini bisa dikategorikan sudah banyak kantor-kantor pemerintah dengan Tupoksi masing-masing, baik satuan kerja daerah maupun pusat.

2.2 Pembahasan / Analisis
2.2.1 Pembahasan Permasalahan Pertama
Untuk pembahasan akan kami analisa pembagian tugas antara bendahara Pengeluaran dan Penerimaan.
2.2.1.1 Bendahara Pengeluaran
Pada pelaksanaan pemungutan pajak tidaklah semudah yang dibayangkan, sampai saat ini masih terjadi ketidaktertiban yang dilakukan oleh bendahara karena ketidaktahuannya atau ketidaktelitiannya. Sehingga pada tahun 2010 Dirjen Pajak mengeluarkan pengumuman dengan nomor Peng-05/Pj.09/2010 tentang kewajiban bendahara pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan pemotongan/pemungutan pajak. Dalam pengumuman tersebut mengingatkan kembali kepada setiap bendahara Pemerintah di lingkungan Kementerian/Lembaga/Instansi Pemerintah untuk melakukan kewajibannya yaitu:
  1. Melakukan pemotongan/pemungutan pajak
  2. Melakukan penyetoran pajak ke Bank Persepsi atau kantor POS
  3. Melakukan pelaporan ke kantor pelayanan sesuai batas waktu yang ditentukan.
Atas setiap transaksi yang dananya berasal dari APBN/APBD[11]. Untuk setoran pajak biasanya menggunakan kode akun 4xxxxx (diawali dengan angka 4) kode jenis setoran 1xx (diawali dengan angka 1).
Setiap awal tahun anggaran pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah membagikan dua dokumen DIPA petikan pada setiap satuan kerja Peradilan Agama dengan alokasi PAGU definitif atau telah melalui persetujuan DPR, dimana satu DIPA berisi perincian anggaran operasional peradilan agama dan satu nya berisi perincian anggaran yang berisi PAGU untuk pelaksanaan TUPOKSI. Untuk Pengadilan Agama Kangean memperoleh dua DIPA yaitu bagian anggaran 005.01.401576 dan 005.04.401577 diman secara garis besar dalam DIPA satuan kerja tersebut berisi belanja :
a.       Pegawai, berhubungan dengan gaji, lembur,honorarium dan uang makan pegawai dengan mata anggaran dengan kode (51xxxx).
b.      Barang, berhubungan dengan belanja barang operasional, honorarium operasional, biaya daya dan jasa, biaya pemeliharaan maupun biaya perjalanan dinas dengan mata anggaran dengan kode (52xxxx).
c.       Modal, berhubungan dengan belanja pembentuk Inventaris (Barang Milik Negara) atau yang pelaksanaannya menggunakan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 dengan mata anggaran dengan kode (53xxxx).
Ketiga jenis belanja diatas merupakan wilayah dimana disana banyak  potensi pajak yang wajib di pungut oleh seorang bendahara pengeluaran.
a.       Belanja Pegawai
Untuk belanja pegawai pada satuan kerja Peradilan Agama tingkat pertama potensi pajak yang bisa di pungut oleh bendahara pengeluaran adalah dari PPh pasal 21. Bendahara pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Psl 21 adalah bendahara pengeluaran pada kementerian / lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten / kota [12] .
Pada tiap-tiap pegawai negeri sipil (PNS) diharus kan mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP), jika tidak akan dikenakan sanksi pemotongan tariff yang lebih tinggi dari aturan yang ada, yaitu dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20 % daripada tarif yang diterapkan [13].
Untuk saat ini Bendahara Pengeluaran satuan kerja tingkat pertama tidak perlu melakukan pemotongan secara manual per pegawai setiap menerima gaji atau imbalan lain, sudah disediakan aplikasi oleh kementerian keuangan yang bernama aplikasi gaji pokok pegawai (GPP), dimana disitu semua perhitungan menyangkut pembebanan anggaran belanja pegawai dilakukan. Mulai perhitungan gaji, gaji 13, kekurangan gaji, uang makan, uang lembur maupun pencetakan dokumen-dokumen menyangkut keterangan gaji atas seorang pegawai. Bendahara Pengeluran tinggal melengkapi selengkap-lengkapnya profil setiap pegawai dan yang paling penting adalah nomor NPWP. Jika tidak otomatis pemotongan akan dilakukan aplikasi lebih tinggi sebesar 20% dari ketentuan.
Pada realisasi belanja pegawai pada tingkat peradilan Agama tingkat pertama di bedakan menjadi :

(i)     Gaji
Setiap awal bulan bendahara pengeluaran melakukan perhitungan gaji bulan ke n+1 yang akan diajukan kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) masing-masing. Dengan memasukkan data lengkap pada tiap-tiap profil pegawai, apakah pegawai tersebut ada perubahan kenaikan pangkat, kenaikan gaji berkala atau penyesuaian gaji. Setelah di rasa data telah lengkap maka gaji dengan menggunakan aplikasi gaji dapat di generate/proses. Pada gaji disana ada potensi PPh 21.
Perhitungan pajak penghasilan pasal 21 (PPh 21) untuk pegawai dilakukan dengan menggunakan tarif progresif. Dengan tarif progresif, pengenaan pajak akan berbeda sesuai dengan besarnya penghasilan yang diterima seseorang. Namun sebelum pajak ini bisa dihitung, penghasilan kotor seseorang pegawai akan dikurangi dengan factor-faktor pengurang penghasilan.
Pada aplikasi gaji(GPP) yang digunakan satuan kerja pada referensi pemberlakuan pajak untuk gaji pada yang dikenakan pada Pegawai Negeri Sipil dibagi menjadi 3 tarif yang disebut pajak progresif, yaitu :
√ 0 – 50.000.000 sebesar 0,05%
√ 50.000.001 – 250.000.000 sebesar 0,15%
√ 250.000.001 – 500.000.000 sebesar 0,30%
Dengan pembagian range pajak dibagi menjadi 3(tiga) layer, layer 1 à 50.000.000, layer 2 à 250.000.000, layer 3 à 500.000.000.
Bendahara Pengeluaran pada saat generate/proses gaji harus teliti dengan mengecek satu per satu pegawai apakah nominal gaji bruto dan netto sudah benar. Pada penghasilan pegawai satuan kerja Peradilan Agama tingkat pertama komposisi nya terdiri dari :
√ Penghasilan
  Gaji Pokok, Tunjangan Istri dan Anak, Tunjangan Umum,Tunjangan Papua,Tunjangan Terpencil,Tunjangan Jabatan Struktural/Fungsional Tunjangan beras, Tunjangan Pajak dan Tunjangan Lain-Lain.
√ Potongan
Potongan Beras,Iuran Wajib Pegawai, Pajak Penghasilan (PPh21), Sewa rumah,Taperum dan Potongan Lain
Yang perlu diperhatikan adalah antara Penghasilan Tunjangan Pajak dan Potongan Pajak Penghasilan, disini jumlahnya harus sama. Jika dibaca sekilas maka negara telah menyediakan tunjangan khusus bagi pegawai untuk membayar pajaknya tiap penghasilan yang diperoleh dari APBN / APBD.
Pada setiap pemrosesan gaji, bendahara pengeluaran tidak boleh lupa untuk membuat/mencetak surat setoran pajak (SSP) rangkap 4 (empat) yang akan divalidasi oleh KPPN setempat (Pamekasan) sebagai tanda bahwa pegawai satuan kerja tersebut telah menyetorkan PPh 21 secara kolektif, dimana ditanda tangani oleh bendahara pengeluaran dan stampel instansi. Rangkap 4 (empat) yaitu lembar ke 1 untuk arsip wajib pajak, lembar ke 2 untuk KPPN, lembar ke 3 untuk dilaporkan oleh wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak(KPP) dan lembar ke 4 untuk bank persepsi/kantor POS&Giro. Tentunya jika pembayaran pajak dilakukan secara kolektif maka NPWP yang digunakan adalah atas nama NPWP satuan kerja. Dan harus dicantumkan oleh Bendahara Pengeluaran pada kode akun pajak untuk PPh 21 adalah 411121 kode jenis setoran 100 dengan pada uraian serta masa pajak harus di cantumkan bulan dan tahunnya secara jelas, ini sangat menentukan untuk proses pelaporan.
Untuk proses pelaporan oleh bendahara pengeluaran dilakukan setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan form PPh 21 dan dilampirkan SSP lembar ke 3. Sebagai bukti pada setiap pegawai yang telah dibayarkan pajaknya maka Bendahara Pengeluaran harus mencetakkan bukti potongan pajak tersebut, dimana bukti potongan ini akan dilampirkan pada saat pelaporan SPT tahunan.
(ii)                  Uang Makan, Honor lembur/lembur makan atau Penghasilan lainnya
Setiap penghasilan, honor atau penghasilan lain yang menjadi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah harus dikeluarkan pajaknya, tentunya besaran tarifnya berbeda disesuaikan dengan peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2010 tentang tarif pemotongan dan pengenaan pajak penghasilan Pasal 21.
Untuk penghasilan yang dibebankan kepada APBN/D selain gaji yaitu tunjangan lain misalnya uang makan, uang lembur,uang makan lembur dikenakan tarif sesuai dengan golongan PNS tersebut. Untuk Golongan I dan Golongan II sebesar 0% dari penghasilan, golongan III sebesar 5% dari pengahsilan dan Golongan IV sebesar 15% [14]
Tentunya setiap pengajuan selain gaji ini harus ada dasar hukumnya, Bendahara Pengeluaran tidak boleh sembarangan dalam pengajuannya. Karena disini ada potensi pajak yang sangat besar. Sebelum honor atau uang makan diserahkan harus dihitung dulu berapa pajak yang harus dikeluarkan. Berbeda dengan perhitungan gaji, disini tidak dijumpai tunjangan pajak artinya benar-benar pajak yang dibayarkan adalah dari pengahsilan pegawai yang bersnagkutan terima. Tentunya perlakuannya sama untuk bukti setor dan perlakuannya seperti pelaporan gaji.

  1. Belanja Barang
Pada belanja barang pajak yang dikenakan pada setiap realisasi satuan kerja Peradilan Agama tingkat pertama adalah pajak pusat, atau diistilahkan pajak negara yang dipungut oleh pemerintah pusat. Pemungutan pajak negara menjadi tanggung jawab bendahara pengeluaran Instansi / Lembaga / Kementerian dimana pelaporannya dilakukan pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), namun disini yang sering berhubungan dengan satuan kerja adalah DJP. Untuk jenis pajak pusat yang sering dikenakan pada realisasi belanja barang ada PPh atas jasa, PPn atas penjualan barang dan pengenaan Bea Materai pada saat transaksi barang.
Bendahara Pengeluaran harus teliti untuk setiap transaksi yang dilakukan, baik itu mengenai nominal, pihak/toko/CV yang bertransaksi atau pembuktian kwitansi. Berikut perincian pemungutan pajak maupun bea materai atas realisasi belanja barang pada satuan kerja tingkat pertama :
(i)     Pembelanjaan yang dibebankan pada mata anggaran pemeliharaan (523xxx) nilai nya di bawah 1.000.000 (satu juta rupiah) atas jasa teknik,jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lainnya selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan dikenakan PPh Psl 23 yaitu sebesar 2% dari jumlah bruto kwitansi[15]. Jika nilainya melebihi 1.000.000 (satu juta rupiah) maka dikenakan selain PPh 23 sebesar 2% dan juga dikenakan PPn 10% [16]. Ada aturan tambahan dalam hal wajib pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak maka besarnya tariff pemotongan adalah lebih tinggi 100% [17]. Ada tambahan bagi bendahara pengeluaran jika nilai kwitansi lebih dari Rp.250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) maka pihak ke-3 juga harus dikenakan materai dengan nominal 3.000 (tiga ribu rupiah) tapi jika lebih dari 1.000.000 (satu juta) maka dikenakan bea materai nominal 6.000 (enam ribu rupiah).
(ii)   Pembelanjaan yang dibebankan pada mata anggaran pemeliharaan (523xxx) jika bentuknya adalah penggantian atau pembelian atas suatu barang maka yang nilai penggantiannya dimana nilai kurang dari 2.000.000 (dua juta rupiah) maka dikenakan PPn sebesar 10 % tapi jika nilainya diatas 2.000.000 (dua juta rupiah) maka atas nilai kwitansi selain dikenakan dikenakan PPn sebesar 10 % tapi juga dikenakan PPh 1.5%. Untuk pembebanan bea materai sama dengan point (i).
(iii) Pembelanjaan yang dibebankan pada mata anggaran Belanja Bahan (521xxx), Pembelian atas suatu barang maka yang nilai penggantiannya dimana nilai kurang dari 2.000.000 (dua juta rupiah) maka dikenakan PPn sebesar 10 % tapi jika nilainya diatas 2.000.000 (dua juta rupiah) maka atas nilai kwitansi selain dikenakan dikenakan PPn sebesar 10 % tapi juga dikenakan PPh 1.5%. Untuk pembebanan bea materai sama dengan point (i).
(iv) Pembelanjaan yang dibebankan pada mata anggaran honor (521115), maka pajaknya dikenakan berapapun nilai yang diterima sebesar sesuai dengan golongan pegawai tersebut. Untuk Golongan I dan Golongan II sebesar 0% dari penghasilan, golongan III sebesar 5% dari pengahsilan dan Golongan IV sebesar 15%.
(v)            Untuk realisasi selain belanja pemeliharaan, pembelian bahan dan honor, tidak dikenakan pajak atas nilai kwitansi. Misalnya belanja barang untuk keperluan daya dan jasa (522xxx) ataupun belanja perjalanan dinas (524xxx). Untuk realisasi belanja kelompok ini diatur menurut ketentuan dan peraturan tersendiri.
Potensi pajak yang kemungkinan hilang pada belanja barang adalah sangat besar, jika bendahara pengeluaran tidak mengerti akan peraturan yang ada. Baik itu saat ada potensi atau tarifnya. Negara tidak akan bisa mengontrol setiap transaksi yang terjadi pada setiap satuan kerja Peradilan Agama tingkat pertama. Bisa dibayangkan berapa nilai pemasukan negara yang akan hilang dari pemungutan PPn , PPh dan bea materai.
Setelah bendahara mengetahui potensi dan tariff selanjutnya adalah melakukan penyetoran pajak tersebut ke Bank / POS persepsi yang ada. Seperti pada penyetoran pajak yang lain, yaitu menggunakan Surat Setoran pajak (SPP) rangkap 4. Namun perlu diperhatikan untuk pungutan pajak PPn, NPWP yang digunakan adalah punya toko atau CV atau pihak ketiga yang bertransaksi dengan kita, berbeda jika NPWP pada PPh yaitu punya instansi/satuan kerja. Tapi pada setiap pemungutan pajak, yang menyetor ke Bank / POS persepsi adalah tetap bendahara pengeluaran untuk menjaga agar pajak disetor ke negara. Setelah SSP di validasi oleh penerima pajak maka lembar asli yang ke 1 (wajib pajak) untuk setoran PPn diberikan pada toko atau CV atau pihak ketiga tersebut, sebagai bukti dan lampiran laporan dia ke KPP setiap bulan.
Pada setiap arsip SPP yang telah di validasi oleh Bank / POS penerima yang disimpan oleh bendahara pengeluaran, maka setiap bulan wajib untuk melakukan pelaporan pada Kantor Pelayanan Pajak setempat, dengan menggunakan form-form yang telah disediakan. Baik itu Form PPn, PPh 21, PPh23 atau PPh 26 dengan diisi dan dilampiri SPP tersebut. Sebenarnya Kantor Pelayanan Pajak tidak mempunyai data untuk di rekonsiliasi/dicocokan dengan kemungkinan data pajak yang ada di satuan kerja, tapi ini marupakan bagian dari tugas seorang bendahara. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan dan membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah[18]. Fungsi menyimpan dan membayar dalam hal ini pajak harus dilaksanakan dengan baik bagi seorang bendahara.
Selain melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak, setiap akhir bulan bendahara Pengeluaran juga harus melakukan rekonsiliasi penerimaan pajak dengan KPPN setempat. Pada saat Bank / POS Persepsi menerima SPP dari satuan kerja, maka otomatis akan didapat NTPN (nomor transaksi pendapatan negara) tercetak pada SSP. Serta secara otomatis pula data tersebut akan terkirim ke KPPN setempat dari Bank/POS persepsi. Data ini yang direkonsiliasi tiap akhir bulannya.

c.       Belanja Modal
Belanja modal adalah belanja yang bisa membentuk barang milik negara atau jasa yang pengadaannya memang harus dilakukan dengan aturan tersendiri. Pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa [19].
Pada setiap realisasi belanja modal baik itu berbentuk kegiatan pengadaan barang, konstruksi maupun jasa semuanya merupakan wilayah yang berpotensi pajak, baik itu PPh 23 maupun PPn. Biasanya besaran pajak barang dan konstruksi sama pengenaannya, yaitu PPn 10% dan PPh 2% (rekanan telah mempunyai NPWP). Untuk barang berbentuk tanah pemotongan pajak nya sebesar 5% dari nilai transaksi sebagai biaya PPATK. Bendahara Pengeluaran hanya mencantumkan potongan PPn,PPh pada belanja modal pada sisi kiri Surat Perintah Membayar (SPM) pada saat diajukan ke KPPN, tidak perlu terima tunai atas transaksi. KPPN yang akan memotong langsung nilai pajak, dan mentransfer nilai Netto barang/jasa kepada pihak ke-3 bersangkutan.
Bendahara Pengeluaran hanya menerima bukti validasi SPP atas setoran dari KPPN dan melaporkannya kepada Kantor Pajak Pratama (Sumenep).

2.2.1.1 Bendahara Penerimaan
Bendahara penerimaan tugasnya tidak sekompleks bendahara pengeluaran, tugas pokoknya menerima setoran atas yang dibayarkan oleh pihak yang sedang menjalani proses berperkara, biasanya setoran bukan pajak. Menurut jenis penerimaan yang berasal dari biaya perkara terdiri dari [20]:
a.    Hak Kepaniteraan Mahkamah Agung
b.   Hak Kepaniteraan Peradilan Umum
c.    Hak Kepaniteraan Peradilan Agama
d.   Hak Kepaniteraan Peradilan tata Usaha Negara
e.    Hak Kepaniteraan Lainnya.
Pada Peraturan tersebut dijelaskan juga secara rinci perdetail berapa tarifnya per perkara. Setiap melakukan pemungutan tersebut bendahara penerimaan harus menjelaskan pada pihak berperkara dan memberikan bukti pemotongannya. Pembuatan slip Surat setoran bukan pajak dilakukan per mata anggaran pendapatan dan dibuat per hari menurut aturan. Dimana dimasukkan ke mata anggaran pendapatan berawalan 4xxxxx dan setiap hari harus disetorkan melalui Bank persepsi dan dibukukan. Koordinasi dengan bagian-bagian operasional pada kantor pengadilan harus sering dilakukan agar tidak terjadi kelolosan penerimaan.
Setelah melakukan setoran bukti setor harus diberikan pada bendahara pengeluaran untuk dicatat dan akhir bulan dilakukan rekonsiliasi dengan Kementerian keuangan melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).

2.2.2 Pembahasan Permasalahan Kedua
a.    Prinsip-prinsip Dalam Pemungutan Pajak
Bendahara Pengeluaran Dan Penerimaan pada satuan kerja Peradilan Agama Tingkat Pertama ketika di lapangan dalam memungut pajak hendaklah :
(i)        Segala sesuatu yang dilakukan seorang bendahara dalam memungut pajak hendaknya didasarkan pada prinsip transparan,akuntable dan dapat dipertanggung jawabkan serta berdasarkan aturan yang ada. Hal ini dilakukan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diuntungkan dalam pembayaran pajak dan bukan pajak.
(ii)      Dalam melaksanakan tugasnya bendahara harus adil. Maksudnya bertindak yang sama atau tidak memihak jika berhadapan dengan pihak ke – 3 satu dengan yang lain. Tidak membedakan pengenaan pajak/bukan pajak baik nilai maupun aturan pada pihak-pihak tersebut.
(iii)    Bendara Pengeluaran menjamin kelancaran baik transaksi maupun pelaporan bagi pihak ke -3 yang melakukan hubungan transaksi.
(iv)    Mencarikan solusi bagaimana langkah terbaik ketika masyarakat belum mengerti pajak atau administrasi yang belum mendukung agar tetap pendapatan negara bisa diperoleh.

b.   Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan pemungutan pajak untuk wilayah yang geografisnya susah, sarana dan prasarana keuangan kurang sangat menghambat sekali. Jika melihat aturan yang ada memang sangat jelas dan terlihat mudah. Tapi untuk pelaksanaan seperti yang terjadi pada Pengadilan Agama Kangean tidak mudah dan cenderung tidak sesuai aturan. Tidak sesuai aturan ini dalam arti waktu penyetorannya. Kami tidak bisa melakukan penyetoran ke Bank/POS Persepsi tiap akhir hari kerja, akhir minggu maupun akhir bulan pun tidak bisa.
Hal ini dikarenakan formulir setoran tersebut harus dibawa ke Kabupaten Sumenep terlebih dahulu, tidak bisa disetorkan pada bank/pos persepsi di lokasi satuan kerja. Meskipun ada lembaga keuangan yaitu Bank BRI, BPD Jatim dan Kantor POS tapi mereka tidak diberikan kewenangan untuk menerima setoran. Kantor POS hanya bisa menerima saja, tapi mereka membawanya juga ke Kabupaten Sumenep. Mungkin hal ini yang mengakibatkan setiap bulan satuan kerja seperti ini harus mengalami temuan selisih setiap bulan dengan KPPN dikarenakan SSP dan SSBP diterima kembali oleh satuan kerja dalam waktu lama.
Setiap hasil laporan keuangan instansi juga mengalami temuan dari badan pemeriksan keuangan atas pendapatan negara yang masih belum disetorkan ke negara, dikarenakan pendapatan tersebut di pungut akhir Desember, dan baru disetorkan pada bulan Januari. Tidak ada jaminan waktu penyetoran per minggu, per bulan jika terjadi cuaca buruk dan gelombang. Jika menurut peraturan pemerintah ada sanksi administratif apa ini bisa diperlakukan dalam kondisi seperti ini? Sebagai pelaksana sudah melakukan tugasnya dengan baik, tapi sarana dan prasarana dari pemerintah yang tidak disiapkan seiring dengan peraturan yang di buat.
Selain dari sarana dan prasarana keuangan, hambatan juga dari penduduknya yang sangat jarang yang mengerti pajak, kebanyakan unit dagang dari mereka tidak dilengkapi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini menyulitkan bendahara pengeluaran dalam pemungutan PPn atas barang jika berhubungan transaksi.


BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Peran bendahara pengeluaran dan bendahara penerimaan sangat penting dalam mendukung terlaksananya penerimaan negara. Sangat banyak bidang atau wilayah potensi pajak yang belum maksimal dalam pemungutannya bahkan belum tersentuh pajak, baik pajak daerah maupun pajak pusat. Hal ini bisa dikarenakan oleh sumber daya manusia dibidang perpajakan yang belum secara konsisten dan professional menggali sumber-sumber pendapatan negara selain itu juga infrastruktur pendukung penerimaan pajak yang masih kurang khususnya di wilayah satuan kerja kepulauan.

3.2  Saran
1.      Sebuah Undang-Undang dan Peraturan apapun sebelum dibuat hendaknya disiapkan terlebih dahulu sarana dan prasarana pendukungnya supaya undang-undang tersebut bisa diterapkan atau efektif.
2.      Dalam dunia serba menggunakan jaringan internet saat ini, sudah sewajarnya semua lembaga keuangan milik pemerintah menerapkan sistem Online.
3.      Bendahara Pengeluaran dan penerimaan untuk selalu mengupdate perkembangan tentang pengetahuan pajak tanpa menunggu sosialisasi dari kantor pajak pratama.
4.      Ada perlakuan khusus bagi daerah yang sulit terjangkau fasilitas lembaga keuangan, masih sangat ketergantungan dengan kondisi alam dalam pelaksanaan suatu peraturan undang-undang.



Kepustakaan
Undang Undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama Bandung, 2010.
“Penerimaan Pajak : Realisasinya Baru 42,3% dari Target APBN-P 2013”, Bisnis-KTI.com, 4 Juli 2013, < http://www.bisnis-kti.com/index.php/2013/07/penerimaan-pajak-realisasinya-baru-423-dari-target-apbn-p-2013/ >
Undang Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Undang Undang RI Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 262 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara,PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban APBN Atau APBD.



[1] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal (1)
[2] Prof.Dr.P.J.A Adriani
[3] http://www.bisnis-kti.com/
[4] Undang-Undang Nomor 45 tahun 2013 Tentang  Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Pasal (43)
[5] PP Nomor 22 tahun 1997 Pasal 1.
[6] Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
[7] PP Nomor 45 tahun 2013 tentang tata cara pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara
[8] Perdirjend Perbendaharaan Nomor 32 tahun 2009
[9] UU UU No 45 Tahun 2013 tentang tata cara pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara Pasal 46 ayat (2)
[10] Ayie1927.blogspot.com
[11] Pengumuman Dirjen Pajak Nomor Peng-05/Pj.09/2010
[12] Peraturan Menteri Keuangan  Nomor 262 Tahun 2010 Pasal 11 ayat (1)
[13] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262 Tahun 2010 pasal 10 ayat (1)
[14] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262 tahun 2010 pasal 9
[15] Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat (1.c) urut 2
[16] Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 pasal 7 ayat (1)
[17] Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat 1a
[18] Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 Pasal 1
[19] Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 pasal 1
[20] Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat (1)

0 komentar:

Posting Komentar