BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anggaran Pendapatan dan belanja Negara adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat [1].
APBN merupakan instrument bagi pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan
penerimaan negara dalam rangka mebiayai pelaksanaan kegiatan pemerintah dan
pembangunan. Salah satu unsur APBN adalah pendapatan dimana diperoleh dari
penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak.
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
dilaksanakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. [2]. Dikarenakan kontribusi pajak yang sangat
besar pada APBN jangan sampai potensi-potensi yang seharusnya bisa diambil jadi
hilang. Pada tahun ini Penerimaan pajak realisasinya baru 42,3% dari target
APBN-P 2013[3].
Menyadari pentingnya perpajakan dan penerimaan negara
bukan pajak, maka kemudian dilakukan pengaturan secara terperinci melalui
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan bahkan
Surat Edaran masing-masing kepala kementerian negara atau lembaga. Tujuannya
tidak lain adalah untuk mengatur regulasi pemungutan, pembukuan dan penyetoran
ke kas negara secara benar, sehingga mengurangi kebocoran yang disengaja maupun
tidak oleh bendahara penerimaan maupun pengeluaran.
Pada tiap satuan kerja pemerintah di wajib kan untuk mengambil setiap
potensi pendapatan negara yang berada pada tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI)
nya. Dimana tugas pemungutan pendapatan negara tersebut di delegasikan oleh
bendahara umum negara (Menteri Keuangan) kepada pimpinan setiap
lembaga/kementerian sebagai pengguna anggaran, kemudian tugas di delegasikan
kembali kepada setiap pimpinan satuan kerja sebagai Kuasa Pengguna Anggaran
yang akan menunjuk bendahara pengeluaran dan bendahara penerimaan, pada kedua
jabatan tersebut ditugaskan sebagai pengadministrasian urusan pajak.
Pengaturan secara internal tentang pemungutan,
penyetoran dan pengadministrasian juga dilakukan pemerintah, misalnya pada
lingkungan Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya untuk memenuhi ketentuan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor
53 Tahun 2008 tentang Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak
yang berlaku pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya.
Disitu jelas disebutkan dengan rinci tarif dan jenis yang boleh di pungut oleh
satuan Pengadilan dibawah Mahkamah Agung, kapan harus disetor serta kemana
disetorkan.
Pendapatan negara disetorkan ke Kas negara melalui
bank sentral atau bank umum dan badan lainnya [4].
Badan lainnya selama ini yang umum diketahui adalah kantor POS. Secara jelas
tertulis untuk waktu penyetorannya dalam semua Undang-undang atau peraturan
yang mengatur penerimaan negara adalah harus secepatnya bahkan setiap akhir
hari kerja rekening penampung sudah harus kosong atau sudah disetorkan. Seperti
banyak diketahui kantor POS ada disetiap kecamatan seluruh Indonesia, bahkan
ada lebih dari satu untuk kecamatan yang potensi nasabahnya banyak. Pemerintah
memberikan kewenangan pada kantor POS dan bank umum yang ditunjuk untuk
menampung semua setoran pendapatan merupakan keuntungan bagian badan-badan
tersebut dikarenakan ada dana masuk.
1.2 Permasalahan
Dari peraturan dan undang-undang yang dibuat untuk mengatur tata cara
penyetoran dan penerimaan negara, terdapat permasalahan yang ditemukan
dilapangan oleh para satuan kerja pemungut penerimaan negara. Diantaranya :
1.
Tidak semua bendahara mengerti tentang jenis pajak, dimana
ada potensi pajak, bagaimana memungutnya, menyetorkan dan melakukan laporan
karena sangat jarang kantor pelayanan pajak melakukan pendidikan yang fokus
tentang hal itu kebanyakan hanya melakukan sosialisasi atas suatu peraturan
baru.
2.
Prinsip pemungutan pajak dan banyak hambatan dalam penyetoran
pajak di satuan kerja wilayah kepulauan baik dari segi geografis maupun
infrastruktur lembaga keuangan yang ada.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan pembahasan tentang topic penerimaan setoran pendapatan negara
adalah :
1.
Untuk mengetahui Pajak-pajak apa sajakah yang dipungut
oleh Bendahara Peradilan Agama Tingkat Pertama.
2.
Agar mengetahui Prinsip-Prinsip dalam memungut pajak, Apa saja hambatannya dalam melakukan
penyetoran penerimaan negara untuk wilayah yang relatif sulit sarana dan
prasarana lembaga keuangannya.
3.
Agar pemerintah menyiapkan infrastruktur lembaga
keuangan atau lainnya yang diberikan kewenangan menerima setoran pendapatan
negara, sehingga bisa cepat masuk ke kas negara.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Kajian
Pustaka
2.1.1.
Pengertian Penerimaan
Pajak,Bukan Pajak Dan Bendahara
Penerimaan Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak, yang
dipaksakan oleh kekuasaan public dari penduduk atau dari barang, untuk menutup
belanja pemerintah (Leroy Beaulieu). Sedangkan Penerimaan Bukan Pajak adalah
penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan [5].
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk
keperluan belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada
kantor/satuan kerja kementerian negara / lembaga / pemerintah daerah ,
sedangkan Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggung-jawabkan uang
pendapatan negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan
kerja kementerian negara / lembaga / pemerintah daerah [6].
Sedangkan menurut Undang-Undang No.1 tahun 2004 juga bahwa bendahara
Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
menyetorkan,menatausahakan, dan mempertanggung jawabkan uang pendapatan
negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
2.1.2. Penyetoran Pajak, Waktu Penyetoran Dan
Sanksi
Pendapatan Negara disetorkan ke Kas negara melalui Bank Sentral atau Bank
Umum dan badan lainnya[7]. Bank/Pos
persepsi adalah bank dan/atau kantor Pos dan giro yang ditunjuk oleh menteri
keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara[8].
Untuk sistem penyetoran penerimaan negara diatur kembali pada UU nomor 1 tahun
2004 pada pasal (22) ayat :
(6) Saldo rekening penerimaan setiap akhir hari kerja
wajib disetorkan seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral.
(7) Dalam hal kewajiban penyetoran tersebut secara
teknis belum dapat dilakukan setiap hari, Bendahara Umum Negara mengatur
penyetoran secara berkala.
Penyetoran pendapan negara yang dilakukan melampaui waktu yang ditetapkan
dikenakan sanksi administratif berupa denda[9].
2.1.3. Kepulauan Kangean
Kepulauan Kangean adalah gugusan pulau yang terdiri dari + 60
pulau[10].
yang terbagi menjadi 3 (tiga) kecamatan
yaitu Kecamatan Arjasa untuk bagian barat dan Kecamatan Kangayan untuk bagian
timur serta Kecamatan Sapeken yang wilayahnya terdiri dari banyak pulau. Untuk
sistim pemerintahan kepulauan ini merupakan bagian dari Pemerintah Kabupaten
Sumenep. Bagian barat pulau Kangean terdapat pelabuhan sebagai pintu utama
kapal-kapal regular masuk ke Kepulauan Kangean. Transportasi laut menjadi yang
utama menghubungkan pulau – pulau dan menghubungkan dengan dunia luar. Dari
pelabuhan utama Pulau Kangean dengan Pelabuhan Kalianget Sumenep Madura
berjarak + 100 km bahkan jarak Pulau Kangean ke Sumenep lebih jauh
daripada jarak Pulau Kangean ke Kota Singaraja Bali. Jika menggunakan
transportasi kapal regular satu kali perjalanan bisa menempuh 9 sampai dengan
12 jam perjalan tergantung dari angin dan gelombang.
Banyak aktifitas ekonomi dilakukan warganya dari mulai berdagang,
perkebunan, pertanian dan usaha jasa lainnya. Meskipun daerah kecil tapi arus
uang yang masuk sangat besar, ini dapat dilihat dari jumlah transaksi dengan
lembaga keuangan yang ada. Untuk lembaga keuangan di pulau ini hanya ada 2 Bank
yaitu Bank BPD Jawa Timur dan Bank Rakyat Indoensia (BRI), itupun BRI baru
masuk pada tahun 2012. Serta pada masing-masing kecamatan ada satu kantor POS
yang melayani jasa pengiriman surat dan pembayaran rekening dan lain-lain. Pada
wilayah ini bisa dikategorikan sudah banyak kantor-kantor pemerintah dengan
Tupoksi masing-masing, baik satuan kerja daerah maupun pusat.
2.2 Pembahasan / Analisis
2.2.1 Pembahasan Permasalahan
Pertama
Untuk pembahasan
akan kami analisa pembagian tugas antara bendahara Pengeluaran dan Penerimaan.
2.2.1.1 Bendahara Pengeluaran
Pada pelaksanaan pemungutan pajak tidaklah semudah yang dibayangkan,
sampai saat ini masih terjadi ketidaktertiban yang dilakukan oleh bendahara
karena ketidaktahuannya atau ketidaktelitiannya. Sehingga pada tahun 2010
Dirjen Pajak mengeluarkan pengumuman dengan nomor Peng-05/Pj.09/2010 tentang
kewajiban bendahara pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan
pemotongan/pemungutan pajak. Dalam pengumuman tersebut mengingatkan kembali
kepada setiap bendahara Pemerintah di lingkungan Kementerian/Lembaga/Instansi
Pemerintah untuk melakukan kewajibannya yaitu:
- Melakukan pemotongan/pemungutan pajak
- Melakukan penyetoran pajak ke Bank Persepsi atau kantor POS
- Melakukan pelaporan ke kantor pelayanan sesuai batas waktu yang ditentukan.
Atas setiap transaksi yang dananya berasal dari APBN/APBD[11].
Untuk setoran pajak biasanya menggunakan kode akun 4xxxxx (diawali dengan angka
4) kode jenis setoran 1xx (diawali dengan angka 1).
Setiap awal tahun anggaran pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah
membagikan dua dokumen DIPA petikan pada setiap satuan kerja Peradilan Agama
dengan alokasi PAGU definitif atau telah melalui persetujuan DPR, dimana satu
DIPA berisi perincian anggaran operasional peradilan agama dan satu nya berisi
perincian anggaran yang berisi PAGU untuk pelaksanaan TUPOKSI. Untuk Pengadilan
Agama Kangean memperoleh dua DIPA yaitu bagian anggaran 005.01.401576 dan
005.04.401577 diman secara garis besar dalam DIPA satuan kerja tersebut berisi
belanja :
a.
Pegawai, berhubungan dengan gaji, lembur,honorarium dan
uang makan pegawai dengan mata anggaran dengan kode (51xxxx).
b.
Barang, berhubungan dengan belanja barang operasional,
honorarium operasional, biaya daya dan jasa, biaya pemeliharaan maupun biaya
perjalanan dinas dengan mata anggaran dengan kode (52xxxx).
c.
Modal, berhubungan dengan belanja pembentuk Inventaris
(Barang Milik Negara) atau yang pelaksanaannya menggunakan Peraturan Presiden
nomor 54 tahun 2010 dengan mata anggaran dengan kode (53xxxx).
Ketiga jenis belanja diatas merupakan wilayah dimana disana banyak potensi pajak yang wajib di pungut oleh
seorang bendahara pengeluaran.
a.
Belanja Pegawai
Untuk belanja pegawai pada satuan kerja Peradilan Agama tingkat pertama
potensi pajak yang bisa di pungut oleh bendahara pengeluaran adalah dari PPh
pasal 21. Bendahara pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Psl 21 adalah
bendahara pengeluaran pada kementerian / lembaga, pemerintah provinsi, atau
pemerintah kabupaten / kota [12] .
Pada tiap-tiap pegawai negeri sipil (PNS) diharus kan mempunyai nomor
pokok wajib pajak (NPWP), jika tidak akan dikenakan sanksi pemotongan tariff
yang lebih tinggi dari aturan yang ada, yaitu dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih
tinggi sebesar 20 % daripada tarif yang diterapkan [13].
Untuk saat ini Bendahara Pengeluaran satuan kerja tingkat pertama tidak
perlu melakukan pemotongan secara manual per pegawai setiap menerima gaji atau
imbalan lain, sudah disediakan aplikasi oleh kementerian keuangan yang bernama
aplikasi gaji pokok pegawai (GPP), dimana disitu semua perhitungan menyangkut
pembebanan anggaran belanja pegawai dilakukan. Mulai perhitungan gaji, gaji 13,
kekurangan gaji, uang makan, uang lembur maupun pencetakan dokumen-dokumen
menyangkut keterangan gaji atas seorang pegawai. Bendahara Pengeluran tinggal
melengkapi selengkap-lengkapnya profil setiap pegawai dan yang paling penting
adalah nomor NPWP. Jika tidak otomatis pemotongan akan dilakukan aplikasi lebih
tinggi sebesar 20% dari ketentuan.
Pada realisasi belanja pegawai pada tingkat peradilan Agama tingkat
pertama di bedakan menjadi :
(i)
Gaji
Setiap awal bulan bendahara pengeluaran melakukan perhitungan gaji bulan
ke n+1 yang akan diajukan kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
masing-masing. Dengan memasukkan data lengkap pada tiap-tiap profil pegawai,
apakah pegawai tersebut ada perubahan kenaikan pangkat, kenaikan gaji berkala
atau penyesuaian gaji. Setelah di rasa data telah lengkap maka gaji dengan
menggunakan aplikasi gaji dapat di generate/proses. Pada gaji disana ada
potensi PPh 21.
Perhitungan pajak penghasilan pasal 21 (PPh 21) untuk pegawai dilakukan
dengan menggunakan tarif progresif. Dengan tarif progresif, pengenaan pajak
akan berbeda sesuai dengan besarnya penghasilan yang diterima seseorang. Namun
sebelum pajak ini bisa dihitung, penghasilan kotor seseorang pegawai akan dikurangi
dengan factor-faktor pengurang penghasilan.
Pada aplikasi gaji(GPP) yang digunakan satuan kerja pada referensi
pemberlakuan pajak untuk gaji pada yang dikenakan pada Pegawai Negeri Sipil
dibagi menjadi 3 tarif yang disebut pajak progresif, yaitu :
√ 0 – 50.000.000
sebesar 0,05%
√ 50.000.001 –
250.000.000 sebesar 0,15%
√ 250.000.001 –
500.000.000 sebesar 0,30%
Dengan pembagian
range pajak dibagi menjadi 3(tiga) layer, layer 1 à 50.000.000, layer 2 à
250.000.000, layer 3 à 500.000.000.
Bendahara Pengeluaran pada saat generate/proses gaji harus teliti dengan
mengecek satu per satu pegawai apakah nominal gaji bruto dan netto sudah benar.
Pada penghasilan pegawai satuan kerja Peradilan Agama tingkat pertama komposisi
nya terdiri dari :
√ Penghasilan
Gaji Pokok,
Tunjangan Istri dan Anak, Tunjangan Umum,Tunjangan Papua,Tunjangan
Terpencil,Tunjangan Jabatan Struktural/Fungsional Tunjangan beras, Tunjangan
Pajak dan Tunjangan Lain-Lain.
√ Potongan
Potongan Beras,Iuran Wajib Pegawai, Pajak Penghasilan (PPh21), Sewa
rumah,Taperum dan Potongan Lain
Yang perlu diperhatikan adalah antara Penghasilan Tunjangan Pajak dan
Potongan Pajak Penghasilan, disini jumlahnya harus sama. Jika dibaca sekilas
maka negara telah menyediakan tunjangan khusus bagi pegawai untuk membayar
pajaknya tiap penghasilan yang diperoleh dari APBN / APBD.
Pada setiap pemrosesan gaji, bendahara pengeluaran
tidak boleh lupa untuk membuat/mencetak surat setoran pajak (SSP) rangkap 4
(empat) yang akan divalidasi oleh KPPN setempat (Pamekasan) sebagai tanda bahwa
pegawai satuan kerja tersebut telah menyetorkan PPh 21 secara kolektif, dimana
ditanda tangani oleh bendahara pengeluaran dan stampel instansi. Rangkap 4
(empat) yaitu lembar ke 1 untuk arsip wajib pajak, lembar ke 2 untuk KPPN,
lembar ke 3 untuk dilaporkan oleh wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak(KPP)
dan lembar ke 4 untuk bank persepsi/kantor POS&Giro. Tentunya jika
pembayaran pajak dilakukan secara kolektif maka NPWP yang digunakan adalah atas
nama NPWP satuan kerja. Dan harus dicantumkan oleh Bendahara Pengeluaran pada
kode akun pajak untuk PPh 21 adalah 411121 kode jenis setoran 100 dengan pada
uraian serta masa pajak harus di cantumkan bulan dan tahunnya secara jelas, ini
sangat menentukan untuk proses pelaporan.
Untuk proses pelaporan oleh bendahara pengeluaran
dilakukan setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan form
PPh 21 dan dilampirkan SSP lembar ke 3. Sebagai bukti pada setiap pegawai yang
telah dibayarkan pajaknya maka Bendahara Pengeluaran harus mencetakkan bukti
potongan pajak tersebut, dimana bukti potongan ini akan dilampirkan pada saat
pelaporan SPT tahunan.
(ii)
Uang Makan, Honor lembur/lembur makan atau Penghasilan
lainnya
Setiap penghasilan, honor atau penghasilan lain yang
menjadi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah harus dikeluarkan pajaknya, tentunya besaran
tarifnya berbeda disesuaikan dengan peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2010
tentang tarif pemotongan dan pengenaan pajak penghasilan Pasal 21.
Untuk penghasilan yang dibebankan kepada APBN/D selain
gaji yaitu tunjangan lain misalnya uang makan, uang lembur,uang makan lembur
dikenakan tarif sesuai dengan golongan PNS tersebut. Untuk Golongan I dan
Golongan II sebesar 0% dari penghasilan, golongan III sebesar 5% dari
pengahsilan dan Golongan IV sebesar 15% [14]
Tentunya setiap pengajuan selain gaji ini harus ada
dasar hukumnya, Bendahara Pengeluaran tidak boleh sembarangan dalam
pengajuannya. Karena disini ada potensi pajak yang sangat besar. Sebelum honor
atau uang makan diserahkan harus dihitung dulu berapa pajak yang harus
dikeluarkan. Berbeda dengan perhitungan gaji, disini tidak dijumpai tunjangan
pajak artinya benar-benar pajak yang dibayarkan adalah dari pengahsilan pegawai
yang bersnagkutan terima. Tentunya perlakuannya sama untuk bukti setor dan
perlakuannya seperti pelaporan gaji.
- Belanja Barang
Pada belanja barang pajak yang dikenakan pada setiap
realisasi satuan kerja Peradilan Agama tingkat pertama adalah pajak pusat, atau
diistilahkan pajak negara yang dipungut oleh pemerintah pusat. Pemungutan pajak
negara menjadi tanggung jawab bendahara pengeluaran Instansi / Lembaga /
Kementerian dimana pelaporannya dilakukan pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), namun disini yang sering
berhubungan dengan satuan kerja adalah DJP. Untuk jenis pajak pusat yang sering
dikenakan pada realisasi belanja barang ada PPh atas jasa, PPn atas penjualan
barang dan pengenaan Bea Materai pada saat transaksi barang.
Bendahara Pengeluaran harus teliti untuk setiap
transaksi yang dilakukan, baik itu mengenai nominal, pihak/toko/CV yang
bertransaksi atau pembuktian kwitansi. Berikut perincian pemungutan pajak
maupun bea materai atas realisasi belanja barang pada satuan kerja tingkat
pertama :
(i)
Pembelanjaan yang dibebankan pada mata anggaran
pemeliharaan (523xxx) nilai nya di bawah 1.000.000 (satu juta rupiah) atas jasa
teknik,jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lainnya selain
jasa yang telah dipotong pajak penghasilan dikenakan PPh Psl 23 yaitu sebesar
2% dari jumlah bruto kwitansi[15].
Jika nilainya melebihi 1.000.000 (satu juta rupiah) maka dikenakan selain PPh
23 sebesar 2% dan juga dikenakan PPn 10% [16].
Ada aturan tambahan dalam hal wajib pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak maka besarnya tariff
pemotongan adalah lebih tinggi 100% [17].
Ada tambahan bagi bendahara pengeluaran jika nilai kwitansi lebih dari
Rp.250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) maka pihak ke-3 juga harus
dikenakan materai dengan nominal 3.000 (tiga ribu rupiah) tapi jika lebih dari
1.000.000 (satu juta) maka dikenakan bea materai nominal 6.000 (enam ribu
rupiah).
(ii)
Pembelanjaan yang dibebankan pada mata anggaran
pemeliharaan (523xxx) jika bentuknya adalah penggantian atau pembelian atas
suatu barang maka yang nilai penggantiannya dimana nilai kurang dari 2.000.000
(dua juta rupiah) maka dikenakan PPn sebesar 10 % tapi jika nilainya diatas
2.000.000 (dua juta rupiah) maka atas nilai kwitansi selain dikenakan dikenakan
PPn sebesar 10 % tapi juga dikenakan PPh 1.5%. Untuk pembebanan bea materai
sama dengan point (i).
(iii) Pembelanjaan
yang dibebankan pada mata anggaran Belanja Bahan (521xxx), Pembelian atas suatu
barang maka yang nilai penggantiannya dimana nilai kurang dari 2.000.000 (dua
juta rupiah) maka dikenakan PPn sebesar 10 % tapi jika nilainya diatas
2.000.000 (dua juta rupiah) maka atas nilai kwitansi selain dikenakan dikenakan
PPn sebesar 10 % tapi juga dikenakan PPh 1.5%. Untuk pembebanan bea materai
sama dengan point (i).
(iv) Pembelanjaan
yang dibebankan pada mata anggaran honor (521115), maka pajaknya dikenakan
berapapun nilai yang diterima sebesar sesuai dengan golongan pegawai tersebut.
Untuk Golongan I dan Golongan II sebesar 0% dari penghasilan, golongan III
sebesar 5% dari pengahsilan dan Golongan IV sebesar 15%.
(v)
Untuk realisasi selain belanja pemeliharaan, pembelian
bahan dan honor, tidak dikenakan pajak atas nilai kwitansi. Misalnya belanja
barang untuk keperluan daya dan jasa (522xxx) ataupun belanja perjalanan dinas
(524xxx). Untuk realisasi belanja kelompok ini diatur menurut ketentuan dan
peraturan tersendiri.
Potensi pajak yang kemungkinan hilang pada belanja
barang adalah sangat besar, jika bendahara pengeluaran tidak mengerti akan
peraturan yang ada. Baik itu saat ada potensi atau tarifnya. Negara tidak akan
bisa mengontrol setiap transaksi yang terjadi pada setiap satuan kerja
Peradilan Agama tingkat pertama. Bisa dibayangkan berapa nilai pemasukan negara
yang akan hilang dari pemungutan PPn , PPh dan bea materai.
Setelah bendahara mengetahui potensi dan tariff
selanjutnya adalah melakukan penyetoran pajak tersebut ke Bank / POS persepsi
yang ada. Seperti pada penyetoran pajak yang lain, yaitu menggunakan Surat
Setoran pajak (SPP) rangkap 4. Namun perlu diperhatikan untuk pungutan pajak
PPn, NPWP yang digunakan adalah punya toko atau CV atau pihak ketiga yang
bertransaksi dengan kita, berbeda jika NPWP pada PPh yaitu punya
instansi/satuan kerja. Tapi pada setiap pemungutan pajak, yang menyetor ke Bank
/ POS persepsi adalah tetap bendahara pengeluaran untuk menjaga agar pajak
disetor ke negara. Setelah SSP di validasi oleh penerima pajak maka lembar asli
yang ke 1 (wajib pajak) untuk setoran PPn diberikan pada toko atau CV atau pihak
ketiga tersebut, sebagai bukti dan lampiran laporan dia ke KPP setiap bulan.
Pada setiap arsip SPP yang telah di validasi oleh Bank
/ POS penerima yang disimpan oleh bendahara pengeluaran, maka setiap bulan
wajib untuk melakukan pelaporan pada Kantor Pelayanan Pajak setempat, dengan
menggunakan form-form yang telah disediakan. Baik itu Form PPn, PPh 21, PPh23
atau PPh 26 dengan diisi dan dilampiri SPP tersebut. Sebenarnya Kantor
Pelayanan Pajak tidak mempunyai data untuk di rekonsiliasi/dicocokan dengan kemungkinan
data pajak yang ada di satuan kerja, tapi ini marupakan bagian dari tugas
seorang bendahara. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas
untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan dan membayar/menyerahkan
uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah[18].
Fungsi menyimpan dan membayar dalam hal ini pajak harus dilaksanakan dengan
baik bagi seorang bendahara.
Selain melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak,
setiap akhir bulan bendahara Pengeluaran juga harus melakukan rekonsiliasi
penerimaan pajak dengan KPPN setempat. Pada saat Bank / POS Persepsi menerima
SPP dari satuan kerja, maka otomatis akan didapat NTPN (nomor transaksi
pendapatan negara) tercetak pada SSP. Serta secara otomatis pula data tersebut
akan terkirim ke KPPN setempat dari Bank/POS persepsi. Data ini yang
direkonsiliasi tiap akhir bulannya.
c.
Belanja Modal
Belanja modal adalah belanja yang bisa membentuk
barang milik negara atau jasa yang pengadaannya memang harus dilakukan dengan
aturan tersendiri. Pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh
barang/jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi
lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa [19].
Pada setiap realisasi belanja modal baik itu berbentuk
kegiatan pengadaan barang, konstruksi maupun jasa semuanya merupakan wilayah
yang berpotensi pajak, baik itu PPh 23 maupun PPn. Biasanya besaran pajak
barang dan konstruksi sama pengenaannya, yaitu PPn 10% dan PPh 2% (rekanan
telah mempunyai NPWP). Untuk barang berbentuk tanah pemotongan pajak nya
sebesar 5% dari nilai transaksi sebagai biaya PPATK. Bendahara Pengeluaran
hanya mencantumkan potongan PPn,PPh pada belanja modal pada sisi kiri Surat
Perintah Membayar (SPM) pada saat diajukan ke KPPN, tidak perlu terima tunai
atas transaksi. KPPN yang akan memotong langsung nilai pajak, dan mentransfer
nilai Netto barang/jasa kepada pihak ke-3 bersangkutan.
Bendahara Pengeluaran hanya menerima bukti validasi
SPP atas setoran dari KPPN dan melaporkannya kepada Kantor Pajak Pratama
(Sumenep).
2.2.1.1 Bendahara Penerimaan
Bendahara penerimaan tugasnya tidak sekompleks bendahara pengeluaran, tugas
pokoknya menerima setoran atas yang dibayarkan oleh pihak yang sedang menjalani
proses berperkara, biasanya setoran bukan pajak. Menurut jenis penerimaan yang
berasal dari biaya perkara terdiri dari [20]:
a.
Hak Kepaniteraan Mahkamah Agung
b.
Hak Kepaniteraan Peradilan Umum
c.
Hak Kepaniteraan Peradilan Agama
d.
Hak Kepaniteraan Peradilan tata Usaha Negara
e.
Hak Kepaniteraan Lainnya.
Pada Peraturan tersebut dijelaskan juga secara rinci
perdetail berapa tarifnya per perkara. Setiap melakukan pemungutan tersebut
bendahara penerimaan harus menjelaskan pada pihak berperkara dan memberikan
bukti pemotongannya. Pembuatan slip Surat setoran bukan pajak dilakukan per
mata anggaran pendapatan dan dibuat per hari menurut aturan. Dimana dimasukkan
ke mata anggaran pendapatan berawalan 4xxxxx dan setiap hari harus disetorkan
melalui Bank persepsi dan dibukukan. Koordinasi dengan bagian-bagian
operasional pada kantor pengadilan harus sering dilakukan agar tidak terjadi
kelolosan penerimaan.
Setelah melakukan setoran bukti setor harus diberikan pada
bendahara pengeluaran untuk dicatat dan akhir bulan dilakukan rekonsiliasi
dengan Kementerian keuangan melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
(KPPN).
2.2.2 Pembahasan Permasalahan
Kedua
a. Prinsip-prinsip
Dalam Pemungutan Pajak
Bendahara Pengeluaran Dan
Penerimaan pada satuan kerja Peradilan Agama Tingkat Pertama ketika di lapangan
dalam memungut pajak hendaklah :
(i)
Segala sesuatu yang dilakukan seorang bendahara dalam
memungut pajak hendaknya didasarkan pada prinsip transparan,akuntable dan dapat
dipertanggung jawabkan serta berdasarkan aturan yang ada. Hal ini dilakukan
agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diuntungkan dalam pembayaran
pajak dan bukan pajak.
(ii)
Dalam melaksanakan tugasnya bendahara harus adil.
Maksudnya bertindak yang sama atau tidak memihak jika berhadapan dengan pihak
ke – 3 satu dengan yang lain. Tidak membedakan pengenaan pajak/bukan pajak baik
nilai maupun aturan pada pihak-pihak tersebut.
(iii)
Bendara Pengeluaran menjamin kelancaran baik transaksi
maupun pelaporan bagi pihak ke -3 yang melakukan hubungan transaksi.
(iv)
Mencarikan solusi bagaimana langkah terbaik ketika
masyarakat belum mengerti pajak atau administrasi yang belum mendukung agar
tetap pendapatan negara bisa diperoleh.
b. Hambatan
Pemungutan Pajak
Hambatan pemungutan pajak untuk wilayah yang geografisnya susah, sarana
dan prasarana keuangan kurang sangat menghambat sekali. Jika melihat aturan
yang ada memang sangat jelas dan terlihat mudah. Tapi untuk pelaksanaan seperti
yang terjadi pada Pengadilan Agama Kangean tidak mudah dan cenderung tidak
sesuai aturan. Tidak sesuai aturan ini dalam arti waktu penyetorannya. Kami
tidak bisa melakukan penyetoran ke Bank/POS Persepsi tiap akhir hari kerja,
akhir minggu maupun akhir bulan pun tidak bisa.
Hal ini dikarenakan formulir setoran tersebut harus dibawa ke Kabupaten
Sumenep terlebih dahulu, tidak bisa disetorkan pada bank/pos persepsi di lokasi
satuan kerja. Meskipun ada lembaga keuangan yaitu Bank BRI, BPD Jatim dan
Kantor POS tapi mereka tidak diberikan kewenangan untuk menerima setoran.
Kantor POS hanya bisa menerima saja, tapi mereka membawanya juga ke Kabupaten
Sumenep. Mungkin hal ini yang mengakibatkan setiap bulan satuan kerja seperti
ini harus mengalami temuan selisih setiap bulan dengan KPPN dikarenakan SSP dan
SSBP diterima kembali oleh satuan kerja dalam waktu lama.
Setiap hasil laporan keuangan instansi juga mengalami temuan dari badan
pemeriksan keuangan atas pendapatan negara yang masih belum disetorkan ke
negara, dikarenakan pendapatan tersebut di pungut akhir Desember, dan baru
disetorkan pada bulan Januari. Tidak ada jaminan waktu penyetoran per minggu,
per bulan jika terjadi cuaca buruk dan gelombang. Jika menurut peraturan
pemerintah ada sanksi administratif apa ini bisa diperlakukan dalam kondisi
seperti ini? Sebagai pelaksana sudah melakukan tugasnya dengan baik, tapi
sarana dan prasarana dari pemerintah yang tidak disiapkan seiring dengan
peraturan yang di buat.
Selain dari sarana dan prasarana keuangan, hambatan juga dari penduduknya
yang sangat jarang yang mengerti pajak, kebanyakan unit dagang dari mereka
tidak dilengkapi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini menyulitkan bendahara
pengeluaran dalam pemungutan PPn atas barang jika berhubungan transaksi.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Peran
bendahara pengeluaran dan bendahara penerimaan sangat penting dalam mendukung
terlaksananya penerimaan negara. Sangat banyak bidang atau wilayah potensi
pajak yang belum maksimal dalam pemungutannya bahkan belum tersentuh pajak,
baik pajak daerah maupun pajak pusat. Hal ini bisa dikarenakan oleh sumber daya
manusia dibidang perpajakan yang belum secara konsisten dan professional
menggali sumber-sumber pendapatan negara selain itu juga infrastruktur
pendukung penerimaan pajak yang masih kurang khususnya di wilayah satuan kerja
kepulauan.
3.2
Saran
1.
Sebuah Undang-Undang dan Peraturan apapun sebelum
dibuat hendaknya disiapkan terlebih dahulu sarana dan prasarana pendukungnya
supaya undang-undang tersebut bisa diterapkan atau efektif.
2.
Dalam dunia serba menggunakan jaringan internet saat
ini, sudah sewajarnya semua lembaga keuangan milik pemerintah menerapkan sistem
Online.
3.
Bendahara Pengeluaran dan penerimaan untuk selalu
mengupdate perkembangan tentang pengetahuan pajak tanpa menunggu sosialisasi
dari kantor pajak pratama.
4.
Ada perlakuan khusus bagi daerah yang sulit terjangkau
fasilitas lembaga keuangan, masih sangat ketergantungan dengan kondisi alam
dalam pelaksanaan suatu peraturan undang-undang.
Kepustakaan
Undang Undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika
Aditama Bandung, 2010.
“Penerimaan Pajak : Realisasinya Baru 42,3% dari Target
APBN-P 2013”, Bisnis-KTI.com, 4 Juli 2013, < http://www.bisnis-kti.com/index.php/2013/07/penerimaan-pajak-realisasinya-baru-423-dari-target-apbn-p-2013/
>
Undang Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Undang Undang RI Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang Dan Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 262 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat
Negara,PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang
Menjadi Beban APBN Atau APBD.
[1]
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal (1)
[2]
Prof.Dr.P.J.A Adriani
[3] http://www.bisnis-kti.com/
[4]
Undang-Undang Nomor 45 tahun 2013 Tentang
Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Pasal (43)
[5] PP Nomor
22 tahun 1997 Pasal 1.
[6]
Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
[7] PP Nomor
45 tahun 2013 tentang tata cara pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara
[8]
Perdirjend Perbendaharaan Nomor 32 tahun 2009
[9] UU UU No
45 Tahun 2013 tentang tata cara pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara Pasal 46 ayat (2)
[10]
Ayie1927.blogspot.com
[11]
Pengumuman Dirjen Pajak Nomor Peng-05/Pj.09/2010
[12]
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262
Tahun 2010 Pasal 11 ayat (1)
[13]
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262 Tahun 2010 pasal 10 ayat (1)
[14]
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262 tahun 2010 pasal 9
[15]
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat (1.c) urut 2
[16]
Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 pasal 7 ayat (1)
[17]
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat 1a
[18]
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 Pasal 1
[19]
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 pasal 1
[20] Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat (1)
0 komentar:
Posting Komentar