Pojok Pak Dirjen:
Peradilan Agama: Dari Serambi Mesjid Menuju Serambi Dunia, Hati Tetap di Mesjid Walau Sudah Mendunia
Kata Sukarno "Jas Merah", JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH. Warga PA memang harus senantiasa dekat dengan mesjid, dan tidak masalah diskusi-diskusi di serambi mesjid. Untuk menghilangkan image dan demi menjaga gengsi tidak perlu dihilangkan kata-kata "mesjid". Biarlah tetap menjadi serambi mesjid, toh mesjid sekarang juga banyak yang tidak kalah megahnya dengan Istiqlal, dan PA sendiri juga sekarang banyak yang megah.
Mazharuddin_Balige, 2011-11-08.
Mazharuddin_Balige, 2011-11-08.
Kalimat Pak Mazharuddin dari Balige Sumatera Utara di atas adalah salah satu komentar terhadap tulisan saya pada kolom Pojok Pak Dirjen edisi awal November 2011, yang berjudul “Peradilan Agama, Dari Serambi Mesjid ke Serambi Dunia dan Peran Cate Sumner”. Di antara 36 komentar terhadap tulisan itu, ada beberapa yang senada dengan komentar dari Pak Mazharuddin.
Kini, sekitar 10 bulan sejak diunggahnya tulisan di atas, kata-kata “Peradilan Agama, Dari Serambi Mesjid ke Serambi Dunia”, yang ‘diciptakan’ oleh Asep Nursobah itu, akan kembali mencuat di dunia maya, bahkan di dunia nyata, berkaitan dengan peradilan agama.
Kini, sekitar 10 bulan sejak diunggahnya tulisan di atas, kata-kata “Peradilan Agama, Dari Serambi Mesjid ke Serambi Dunia”, yang ‘diciptakan’ oleh Asep Nursobah itu, akan kembali mencuat di dunia maya, bahkan di dunia nyata, berkaitan dengan peradilan agama.
Peringatan 130 tahun Peradilan Agama yang prosesnya sedang berlangsung dan acara puncaknya, insya Allah, diselenggarakan pertengahan bulan September ini, juga bertemakan sekitar kata-kata itu. Persisnya, “130 tahun peradilan agama: dari serambi mesjid ke serambi dunia, menuju badan peradilan Indonesia yang agung”.
juga, salah satu buku dari 16 buku yang diterbitkan dalam rangka Peringatan 130 Tahun Peradilan Agama itu berjudul “Dari Serambi Mesjid ke Serambi Dunia, 130 Tahun Peradilan Agama di Indonesia”.
Buku yang ditulis Dr. Jaenal Aripin, dosen FSH UIN Jakarta ini diharapkan menjadi salah satu buku utama di antara buku-buku yang diterbitkan dalam rangka 130 Tahun Peradilan Agama. Buku ini menceriterakan pasang surut sejarah peradilan agama sejak awal sampai sekarang, sejak kantor peradilan agama berada di emper mesjid sampai peradilan agama melanglang dunia.
Oleh karena itu, saya ingin melakukan konfirmasi atau menegaskan kembali maksud dari kata-kata “dari serambi mesjid ke serambi dunia” yang kini sudah semakin semarak didengar di mana-mana, supaya tidak ada salah pengertian.
**
Dengan kata-kata “dari serambi mesjid ke serambi dunia”, saya tidak memaksudkan untuk menjauhkan peradilan agama dari mesjid atau dari nilai-nilai yang selama ini dibangun dan dikembangkan di mesjid. Saya juga tidak merasa turun gengsi jika peradilan agama di kaitkan dengan mesjid.
Bahkan sebaliknya, saya bangga jika di lingkungan kantor peradilan agama dibangun mushola atau mesjid-mesjid yang megah. Saya senang melihat para hakim dan seluruh aparat peradilan agama, hatinya selalu terkait dengan mesjid. Saya gembira melihat kawan-kawan peradilan agama aktif di kepengurusan mesjid, selalu shalat berjamaah di mesjid dan selalu memanfaatkan mesjid untuk kepentingan ibadah dan kehidupan sosial.
Saya sangat senang ketika 3 tahun lalu membaca berita di situs hukum on line yang menyebutkan bahwa reformasi peradilan agama dipancarkan dari mushola kantor Badilag di Pegangsaan Barat. Saya merasa puas ketika itu kawan-kawan selalu semangat mengikuti acara pertukaran informasi dan diskusi tentang pengembangan peradilan agama setiap hari setelah selesai shalat Dhuhur berjamaah. Badilag selalu mendorong warganya untuk memakmurkan mesjid sekaligus menerapkan nilai-nilai yang hidup di mesjid dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, di kantor maupun di mana saja.
Oleh karena itu, saya sangat setuju dengan pernyataan Pak Mazharuddin di atas, “Warga PA memang harus senantiasa dekat dengan mesjid, dan tidak masalah diskusi-diskusi di serambi mesjid”. Saya juga sangat mendukung dan mengapresiasi komentar dari Pak Ahmad, PA Mataram, 2011-11-07, “Kita jangan lupa sampai kapanpun RUHNYA Pengadilan Agama adalah Masjid”.
Demikian juga , kita perlu perhatikan komentar dari Bu Itna, PA Gunung Sugih, 2011-11-07, yang menyatakan “Semoga kita sebagai warga peradilan tetap mengingat sejarah masa lalu, sebagai pemicu keberhasilan serta kebesaran peradilan agama saat ini dengan terus mengembangkan diri bersama ilmu pengetahuan dan keimanan yg tetap terjaga dengan baik, serta bekerja dengan niatan yg tulus ikhlas sebagai citra diri warga peradilan agama”.
Komentar dari Pak Zulkifli Siregar, Kabanjahe, 2011-11-09, baik juga untuk kita renungkan, “Memang itu yang kita inginkan bersama, penampilan dan otak mendunia, namun hati tetap masjid, alias berfikir Barat berperilaku Makkah”.
Banyak lagi komentar dari kawan-kawan lainnya, yang intinya kita tidak boleh meninggalkan kehidupan dan pengamalan keagamaan yang ditandai dekatnya hati kita dengan mesjid.
Saya yakin, kita semua akan sedih, manakala mendengar ada hakim atau aparat peradilan agama yang jauh dari mesjid, jauh dari masalah keumatan dan acuh terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan. Nau’dzubillah.
Bahkan sebaliknya, saya bangga jika di lingkungan kantor peradilan agama dibangun mushola atau mesjid-mesjid yang megah. Saya senang melihat para hakim dan seluruh aparat peradilan agama, hatinya selalu terkait dengan mesjid. Saya gembira melihat kawan-kawan peradilan agama aktif di kepengurusan mesjid, selalu shalat berjamaah di mesjid dan selalu memanfaatkan mesjid untuk kepentingan ibadah dan kehidupan sosial.
Saya sangat senang ketika 3 tahun lalu membaca berita di situs hukum on line yang menyebutkan bahwa reformasi peradilan agama dipancarkan dari mushola kantor Badilag di Pegangsaan Barat. Saya merasa puas ketika itu kawan-kawan selalu semangat mengikuti acara pertukaran informasi dan diskusi tentang pengembangan peradilan agama setiap hari setelah selesai shalat Dhuhur berjamaah. Badilag selalu mendorong warganya untuk memakmurkan mesjid sekaligus menerapkan nilai-nilai yang hidup di mesjid dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, di kantor maupun di mana saja.
Oleh karena itu, saya sangat setuju dengan pernyataan Pak Mazharuddin di atas, “Warga PA memang harus senantiasa dekat dengan mesjid, dan tidak masalah diskusi-diskusi di serambi mesjid”. Saya juga sangat mendukung dan mengapresiasi komentar dari Pak Ahmad, PA Mataram, 2011-11-07, “Kita jangan lupa sampai kapanpun RUHNYA Pengadilan Agama adalah Masjid”.
Demikian juga , kita perlu perhatikan komentar dari Bu Itna, PA Gunung Sugih, 2011-11-07, yang menyatakan “Semoga kita sebagai warga peradilan tetap mengingat sejarah masa lalu, sebagai pemicu keberhasilan serta kebesaran peradilan agama saat ini dengan terus mengembangkan diri bersama ilmu pengetahuan dan keimanan yg tetap terjaga dengan baik, serta bekerja dengan niatan yg tulus ikhlas sebagai citra diri warga peradilan agama”.
Komentar dari Pak Zulkifli Siregar, Kabanjahe, 2011-11-09, baik juga untuk kita renungkan, “Memang itu yang kita inginkan bersama, penampilan dan otak mendunia, namun hati tetap masjid, alias berfikir Barat berperilaku Makkah”.
Banyak lagi komentar dari kawan-kawan lainnya, yang intinya kita tidak boleh meninggalkan kehidupan dan pengamalan keagamaan yang ditandai dekatnya hati kita dengan mesjid.
Saya yakin, kita semua akan sedih, manakala mendengar ada hakim atau aparat peradilan agama yang jauh dari mesjid, jauh dari masalah keumatan dan acuh terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan. Nau’dzubillah.
***
Kita pasti sangat setuju kata-kata Bung Karno yang dikutip Pak Mazharuddin di atas, “JAS MERAH”, JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH. Atau juga, pernyataan Bu Itna, “…warga peradilan (agama) tetap (harus) mengingat sejarah masa lalu”.
Itulah sebabnya Badilag dan seluruh jajaran peradilan agama, pada tahun ini, memperingati 130 Tahun Peradilan Agama, 1882-2012. Tujuan dari peringatan adalah untuk merawat sejarah peradilan agama dan menghargai para pelakunya, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam menyukseskan reformasi peradilan dan pelayanan kepada pencari keadilan.
Dari sejarah, kita mengetahui betapa pemerintah kolonial Belanda demikian memojokkan dan mengucilkan eksistensi dan peran peradilan agama di Indonesia, yang nota bene sudah ada sejak Islam itu sendiri masuk Indonesia dan lebih berkembang pada masa kesultanan-kesultanan.
Dari sejarah pula, kita mengetahui walaupun pemerintah Belanda mengakui eksistensi peradilan agama sebagai peradilan negara, sejak 1882, tetapi keberadaan peradilan agama dibiarkan begitu saja, dikerdilkan, dibonsay bahkan diupayakan untuk dihapuskan.
Kewenangan peradilan agama dikurangi, SDMnya diterlantarkan, sarana prasarana dan gedungnyapun tidak diperhatikan, sebagaimana mereka memperhatikan sarana prasarana dan gedung-gedung “Raad van Justice”.
Makanya, tidak aneh jika di mana-mana gedung peradilan agama ukurannya kecil, lokasinya di gang-gang, di jalan-jalan tikus, di rumah ketuanya atau di emperan mesjid. Peradilan agama dikenal sebagai pengadilan serambi, sebab tempatnya banyak yang di serambi mesjid, yang tidak layak untuk disebut sebagai suatu pengadilan negara yang profesional.
Namun, dengan perjuangan para pendahulu kita, peradilan agama tetap eksis dan dipercaya masyarakat. Bahkan karena kehendak sejarah pula, kini peradilan agama bersama 3 lingkungan peradilan lainnya berada di bawah Mahkamah Agung dan dijamin keberadaannya secara eksplisit oleh Undang-undang Dasar.
Setelah berada di bawah Mahkamah Agung, dalam banyak hal peradilan agama mengalami kemajuan sangat pesat. Sejak anggaran, sarana prasarana, gedung sampai upaya peningkatan SDM, peradilan agama kini jauh lebih maju dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Bahkan lebih dari itu, kini peradilan agama sudah merambah dunia internasional, dengan banyak dilibatkan dan diundang dalam even-even internasional. Publikasi tentang peradilan agama dan putusan-putusannya juga kini telah banyak ditemui di tingkat internasional.
Masyarakat peradilan dan perguruan tinggi tingkat internasional kini juga banyak berkunjung ke peradilan agama untuk melakukan kajian, penelitian atau hanya melihat perkembangan yang terjadi.
Walaupun kiprah peradilan agama di dunia internasional belum signifikan seperti yang diharapkan, namun keikut sertaan peradilan agama dalam pergaulan internasional sudah cukup membanggakan dan memotivasi kita untuk bekerja dan berkiprah lebih baik lagi. Kita perlu terus meningkatkan kualitas diri dan membangun komunikasi untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
Satu hal yang harus kita ingat adalah semaju dan semodern apapun peradilan agama, tanpa integritas yang tinggi dari para hakim dan aparat lainnya, peradilan agama pasti akan kehilangan makna dan tinggal menanti kehancurannya saja.
Akhlaqul karimah harus menjadi pegangan utama segenap jajaran peradilan agama, yang tidak bisa ditawar dan dikompromikan. Silahkan, peradilan agama bergerak dari serambi mesjid menuju serambi dunia, namun hati kita harus tetap istiqamah berada di mesjid, walaupun kita sudah mendunia.
Semoga Allah SWT selalu memberikan taufiq dan hidayahNya kepada peradilan agama dan seluruh jajarannya, yang secara kenegaraan sudah berusia 130 tahun. Amin. (WW).
Itulah sebabnya Badilag dan seluruh jajaran peradilan agama, pada tahun ini, memperingati 130 Tahun Peradilan Agama, 1882-2012. Tujuan dari peringatan adalah untuk merawat sejarah peradilan agama dan menghargai para pelakunya, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam menyukseskan reformasi peradilan dan pelayanan kepada pencari keadilan.
Dari sejarah, kita mengetahui betapa pemerintah kolonial Belanda demikian memojokkan dan mengucilkan eksistensi dan peran peradilan agama di Indonesia, yang nota bene sudah ada sejak Islam itu sendiri masuk Indonesia dan lebih berkembang pada masa kesultanan-kesultanan.
Dari sejarah pula, kita mengetahui walaupun pemerintah Belanda mengakui eksistensi peradilan agama sebagai peradilan negara, sejak 1882, tetapi keberadaan peradilan agama dibiarkan begitu saja, dikerdilkan, dibonsay bahkan diupayakan untuk dihapuskan.
Kewenangan peradilan agama dikurangi, SDMnya diterlantarkan, sarana prasarana dan gedungnyapun tidak diperhatikan, sebagaimana mereka memperhatikan sarana prasarana dan gedung-gedung “Raad van Justice”.
Makanya, tidak aneh jika di mana-mana gedung peradilan agama ukurannya kecil, lokasinya di gang-gang, di jalan-jalan tikus, di rumah ketuanya atau di emperan mesjid. Peradilan agama dikenal sebagai pengadilan serambi, sebab tempatnya banyak yang di serambi mesjid, yang tidak layak untuk disebut sebagai suatu pengadilan negara yang profesional.
Namun, dengan perjuangan para pendahulu kita, peradilan agama tetap eksis dan dipercaya masyarakat. Bahkan karena kehendak sejarah pula, kini peradilan agama bersama 3 lingkungan peradilan lainnya berada di bawah Mahkamah Agung dan dijamin keberadaannya secara eksplisit oleh Undang-undang Dasar.
Setelah berada di bawah Mahkamah Agung, dalam banyak hal peradilan agama mengalami kemajuan sangat pesat. Sejak anggaran, sarana prasarana, gedung sampai upaya peningkatan SDM, peradilan agama kini jauh lebih maju dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Bahkan lebih dari itu, kini peradilan agama sudah merambah dunia internasional, dengan banyak dilibatkan dan diundang dalam even-even internasional. Publikasi tentang peradilan agama dan putusan-putusannya juga kini telah banyak ditemui di tingkat internasional.
Masyarakat peradilan dan perguruan tinggi tingkat internasional kini juga banyak berkunjung ke peradilan agama untuk melakukan kajian, penelitian atau hanya melihat perkembangan yang terjadi.
Walaupun kiprah peradilan agama di dunia internasional belum signifikan seperti yang diharapkan, namun keikut sertaan peradilan agama dalam pergaulan internasional sudah cukup membanggakan dan memotivasi kita untuk bekerja dan berkiprah lebih baik lagi. Kita perlu terus meningkatkan kualitas diri dan membangun komunikasi untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
Satu hal yang harus kita ingat adalah semaju dan semodern apapun peradilan agama, tanpa integritas yang tinggi dari para hakim dan aparat lainnya, peradilan agama pasti akan kehilangan makna dan tinggal menanti kehancurannya saja.
Akhlaqul karimah harus menjadi pegangan utama segenap jajaran peradilan agama, yang tidak bisa ditawar dan dikompromikan. Silahkan, peradilan agama bergerak dari serambi mesjid menuju serambi dunia, namun hati kita harus tetap istiqamah berada di mesjid, walaupun kita sudah mendunia.
Semoga Allah SWT selalu memberikan taufiq dan hidayahNya kepada peradilan agama dan seluruh jajarannya, yang secara kenegaraan sudah berusia 130 tahun. Amin. (WW).
0 komentar:
Posting Komentar